Abstract
This paper shows encounter of two traditions in marriages (Christianity-based and Batak Tradition-based), both are marginalizing women status. Church tradition and Toba Batak tradition are both patriacharl. They have different background contexts, but both subordinate women. The texts which is often used in liturgical marriage tradition describe women as those being led by men, thus led by God. In Toba Batak traditional marriages, a term called sinamot means as paying marriages. Many people say that sinamot is tuhor ni boru, literally means “woman-buying money.” Based on the roles of women and based on human rights of women, women are not dituhor, are not bought.References
Marie Claire Barth Frommel. 2011. Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ruth Schäfer & Freshia Aprilyn Ross. 2013. Bercerai Boleh atau Tidak? Tafsiran terhadap Teks-teks Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Elizabeth Schüssler Fiorenza. 1995. Untuk Mengenang Perempuan itu In Memory of Her Rekonstruksi Teologis tentang Asal-usul Kekristenan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
HKBP. Agenda Bahasa Indonesia. HKBP
HKBP. 2000. Panindangion Haporseaon Pengakuan Iman The Confession of Faith. HKBP, Pearaja Tarutung.
Bungaran Anthonius Simanjuntak. Konflik Status & Kekuasaan Orang Batak Toba.
Yogyakarta: Jendela, 2002.
T.M. Sihombing. 1986. Filsafat Batak tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat, Jakarta: Balai Pustaka.
J.C. Vergowen. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LKiS.
Caroline O.N. Moser. 1993. Gender Planning and Development Theory, Practice & Training.
London & New York: Routledge.
Nurseli Debora Manurung. 2010. Sinamot: Tuhor ni Boru? Studi tentang Realitas Praktik Sinamot dan Pemaknaan Perempuan atas Sinamot dan Tuhor ni Boru dalam Perkawinan
Adat Batak Toba di Jakarta. Universitas Indonesia: Tesis.