Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change telah mengingatkan tentang kedaruratan kenaikan suhu global perubahan iklim. Krisis iklim telah dirasakan secara akut oleh berbagai wilayah dan komunitas di dunia (IPCC 2021). Pemanasan global dan cuaca ekstrem berdampak pada tercerabutnya hak dasar manusia. Situasi ini telah berkontribusi pada meningkatnya angka kelaparan dunia, malnutrisi, paparan penyakit, hilangnya tempat tinggal yang layak, perpindahan, hilangnya mata pencaharian secara permanen, dan berbagai persoalan lainnya. Krisis iklim dengan demikian perlu dipandang sebagai krisis multidimensi. Isu ini tidak cukup dipahami sebagai persoalan ekologis yang dapat diperiksa berdasarkan matra sains, teknologi, dan ekonomi belaka, tetapi juga harus diperiksa sebagai isu moral dan keadilan (Gardiner 2011; Shue 2014).
Krisis iklim kerap dianggap sebagai persoalan yang alamiah dan juga netral gender, padahal jika ditelusuri secara kesejarahan, krisis iklim adalah implikasi dari berbagai relasi yang timpang di dalam masyarakat. Sejumlah feminis memercayai bahwa pola penindasan terhadap alam beriringan dengan pola penindasan terhadap perempuan. Oleh sebab itu, dibutuhkan pendekatan feminis untuk mencapai keadilan iklim. Keadilan iklim artinya memperhatikan bahwa krisis iklim berdampak berbeda, tidak merata, dan tidak proporsional bagi kelompok marginal. Keadilan iklim adalah sebuah ideal yang hanya mungkin dicapai dengan terlebih dahulu mengenali berbagai jenis ketidakadilan yang berkelindan dengan berbagai isme, seperti seksisme, rasisme, klasisme, heteroseksisme, kapitalisme, dan etnosentrisme. Seluruhnya menghasilkan penindasan, penyingkiran, dan kerugian berlipat bagi kelompok rentan—termasuk perempuan (Warren 1990; 2000; Crenshaw 1981). Menggunakan lensa interseksionalitas, feminisme menemukan bahwa sistem yang saling mengunci ini menghasilkan ketidakadilan iklim bagi perempuan.